cr google image |
Aku tahu kalian seringkali memuat cerita tentang nasib percintaanku, tapi aku jamin kali ini ada yang berbeda dengan kisah asmaraku yang sebelum-sebelumnya. Jika dulu ceritaku lebih bernuansa ngarep, bertepuk sebelah tangan, dan sekedar jadi gebetan, kini setelah hidup lebih dari seperempat abad akhirnya aku benar-benar ngerasain yang namanya pacaran.
Ya Alloh, Min, tepuk tangan dong, Min!
Aku sebenarnya hampir putus asa karena tak kunjung berjumpa dengan belahan jiwaku. Kalau mereka bilang jodoh itu di tangan tuhan, aku sampe berpikir jangan-jangan tuhan udah lepas tangan sama aku. Tapi gak mungkin, kita gak boleh suudzon ama tuhan.
Ceritanya mulai sejak setahun lalu, ketika aku sudah jenuh dengan Jakarta. Aku merasa gak cocok dengan kota ini, karena kondisi jalanannya sama banget sama kondisi rejeki dan datangnya jodohku, sama-sama macet.
Aku akhirnya memutuskan mengadu nasib ke Amerika, alasannya sederhana saja, karena mengadu ayam apalagi mengadu domba itu dilarang oleh agama.
Di Amerika aku berniat mencari ilmu dan merintis karir, sukur-sukur kalau bisa seperti Cinta Laura, dari yang cuma bisa naek ojhek becyek becyek tau tau kini udah punya body six pack. Bye, Agnez Mo!
Kenapa juga aku harus ke Amerika? Karena seperti tadi yang kusebut, karena aku niatnya mencari ilmu. Kalau aku niatnya nyari Habib Rizik ya pasti aku ke Saudi Arabia.
Satu hingga dua minggu aku coba menjelajahi area tempat aku bermukim, aku merasa asing dan sepi di sini. Aku bahkan hampir pingsan karena gak nemu abang cilok dan somay sapu-sapu di kolong kolong halte bus terdekat. Cari sari puspa sachetan juga susah banget lagi, ampun banget dah, Min.
Setiap malam aku nongkrong depan apartemen untuk menunggu abang-abang kopi keliling yang berdagang pake sepeda. Lumayan untuk hangatkan badan, pikirku. Malam ketiga setelah aku kena masuk angin akut, akhirnya aku disamperin satpam komplek terdekat. Dia bilang di Amerika gak ada yang jual kopi keliling, kalau mau ngopi, ngeteh, atau nongkrong bisa pergi ke Starbucks yang ada di ujung jalan.
Berterima kasih untuk infonya, akupun melontarkan pertanyaan terakhir untuk Pak Sekuriti. “Tapi, di Starbucks bisa pesen indomie telor gak?”
Tak mendapat jawaban pasti, keesokan harinya aku berjalan menuju Starbucks. Biarin dah kalau gak ada indomie, kali-kali aja mereka sedia bubur kacang ijo ama ketan hitam, pikirku.
Ternyata Starbucks tak seperti warung kopi yang kuduga. Mereka hanya sedia kopi dan gengsi buat pengunjungnya, tak ada indomie dan kawan-kawan. Alhamdulillahnya Min, di Amerika tidak ada gerakan boykot Starbucks, jadi toko ini masih buka dan bisa dimasuki oleh imigran seperti aku.
Aku memesan kopi bercampur susu untuk diminum, dan semula ingin pesan sandwich untuk disantap. Tapi si penjaja bilang bahwa sandwichnya mengandung babi jadi tak bisa dimakan. Mungkin itu sandwich kawin sama babi, lalu begitu di USG ketahuan deh kalo lagi mengandung babi.
Singkat cerita minuman aku datang, tapi hampir tak ada tempat untuk duduk. Sampai aku melihat seorang pria bule sedang duduk sendirian di pojokan kafe dan di depannya ada bangku kosong.
Aku memberanikan diri menghampirinya yang sedang asik membaca.
“Misi, Mas,” sapaku. Si Mas Bule hanya menatap tajam
“Mas, bangku depannya kosong ya? Saya boleh duduk sini gak?” tanyaku. “Emm” dia menjawab singkat.
Ku tarik bangku di depanku, dan si pria masih asik membaca buku. Awkward dengan suasana yang ada, aku pun sok akrab dengan bertanya lagi.
“Lagi baca, Mas?” basa-basiku.
“Enggak, lagi ngalap berkah! Udah tahu baca.” Jawabnya jutek.
Ya Alloh, pikirku, judes bener sih nih bule. “Untung lo bule, Mas. Kalo supir gojek udah gue kasih bintang satu loh,” celetukku, yang aku yakin dia gak paham.
Karena dia sibuk membaca, ya masa iya aku udah jauh-jauh ke Starbucks cepet-cepet minum kopinya. Biar ada kesibukan aku coba intip dalam ranselku apa yang bisa aku keluarkan biar kelihatan sibuk.
Ada sih alat jahit, tapi kalau aku keluarin nanti dikira tukang vermak levis keliling.
Akhirnya, kulihat ada buku yang terselip. Ku keluarkan dan mulai ku buka perlahan. Di hadapanku, ku melihat tatapan si pria bule tajam ke buku yang kupegang.
Aku pun khawatir, ya tuhan, jangan-jangan yang aku keluarin buku stensilan sampe dia gitu banget ngelihatnya. Aku balik bukuku dan kuintip lagi sampulnya, enggak kok.
Tanpa di duga si pria bule mulai bersuara. “Wah, kamu suka karya-karyanya si XXX, ini kan genre ceritanya gelap,” kata dia sangat antusias. Dari sana obrolan kami pun mengalir lancar, selancar jalanan Jakarta saat musim liburan.
Dia pun mengenalkan dirinya, “Nama saya, Jim” katanya. Saya pun menjawab, “Hai, saya Jun.”
Lalu seperti judul sinetron zaman dulu, Jim dan Jun selalu berdua kemana-mana.